IBADAH DI TENGAH PANDEMI COVID-19 PERSPEKTIF ASWAJA

Pandemi Covid-19 adalah realitas global yang menerjang tatanan kehidupan umat manusia dari level internasional, hingga rumah tangga. Kemunculannya menyerang siapa saja yang dapat terjangkiti, tanpa memandang negara, agama, suku, ataupun strata sosial lainnya. Ia menjadi musuh bersama yang harus dilawan dengan cara, salah satunya, memutus mata rantai penyebarannya. Tidak elok jika masih ada yang selalu merespons penanganan Covid- 19 ini dengan “kecurigaan politis”. Tidak layak juga jika ada yang mencoba mengeruk keuntungan dalam situasi pandemi seperti ini.

            Covid-19 ini adalah musibah yang mengglobal. Ia tidak akan memilih sasarannya berdasarkan pertimbangan keagamaan ataupun aliran. Siapapun berpotensi terpapar jika daya tahan tubuhnya tidak kuat, tidak menerapkan pola hidup sehat, ataupun tidak menerapkan physical distancing. Covid 19 bukanlah “tentara Allah SWT” yang tidak akan menargetkan hamba-Nya yang menjalankan kesalehan spiritual normatif. Kesalehan bukan jaminan terhindar dari virus mematikan ini. Allah SWT. Memperingatkan siapapun dalam QS. al-Anfal [8]: 25, “Dan peliharalah dirimu dari siksa yang sekali-kali tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang zalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT sangat keras pembalasan-Nya”.

            Perlu disadari bahwa spirit Islam dalam memutus segala kerusakan sangat tinggi bahkan menjadi tujuan dari pada di turunkannya syariat itu sendiri (maqasyid al-syariah dalam kaedah pengambilan kesimpulan hukum islam,dan ini juga bisa diterapkan dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan bersama,dijelaskan bahwa darul mafasid muqqadamun ala jalbil mashalih, menolakkerusakan lebih diutamakan dari pada mengambil kemanfaatan.oleh karnanya ramadan ditahun ini akan lebih bermakna dan lebih sempurna jika diiringi dengan semangat jihad sosial yang kuat,

            Ada lima prinsip dalam maqashid al-syariah. Ada yang memang seharusnya didahulukan dalam kondisi wabah seperti Covid-19 ini. Para ulama berdiskusi dari kelima hal yang harus kita jaga dalam syariat Islam di antaranya, ada hifdzud din (menjaga agama) dan hifdzun nafs (menjaga jiwa). Sebagian ulama ushul fikih ada yang mengatakan, yang harus didahulukan adalah hifdzu nafs, baru kemudian hifdzu din. Namun jika terjadi benturan antara persoalan menjaga agama dan menjaga diri kehidupan kita, mana yang harus didahulukan? Dalam hal ini, para ulama ada yang memilih hifdzun nafs itu diutamakan. Mereka berargumen, misalkan ketika sedang melaksanakan puasa namun kondisi tubuh kita tidak memungkinkan untuk berpuasa, bisa sakit, khawatir dengan kehamilan, atau kecelakaan karena dalam Alquran dijelaskan, boleh untuk membatalkan puasa pada keadaan tertentu. Artinya, kalau ada pertimbangan medis, kondisi kita tak sanggup berpuasa, atau kalau berpuasa ternyata bisa menimbulkan bahaya untuk kesehatan kita, maka agama memberikan rukhsah/keringanan untuk tidak berpuasa dengan konsekuensi harus mengganti di lain hari.

Islam merupakan agama yang damai, agama yang lembut, menata setiap kehidupan manusia dengan indah,  agama yang selalu memikirkan umatnya dengan adanya rukhsah atau keringanan yang sangat sesuai dilakukan dalam berbagai kondisi dan situasi, bahkan hanya islam, agama yang mengatur kehidupan penganutnya dengan sangat rinci, seperti masalah adab dan tata cara membuang hajat (kencing, buang air besar). Dalam situasi tertentu, islam mampu memberi jalan tengah demi kemaslahatan penganutnya, begitupula dengan aswaja yang posisinya adalah tawasuth, di tengah-tengah antara khauf dan raja’. Di tengah-tengah, antara kita itu merasa takut dengan takdir atau ketentuan Allah, siksa dan azab Allah, tetapi dalam diri kita juga ada raja’ atau harapan akan pertolongan dan rahmat Allah. Begitu juga antara takdir dan tawakal, atau antara takdir dan ikhtiar. Hendaknya juga kita berada di tengah.

Jadi, kita tak boleh lari dari takdir, tetapi kita juga tak boleh berputus asa sehingga enggan ikhtiar. Kita bukan jabbariyah, dan bukan pula Qadariyah. Aswaja itu tengah-tengah. Adalah ketentuan Allah, memang bahwa ada banyak yang wafat karena wabah. Namun, kalau kita takut berlebihan, juga tidak baik. Pada saat yang sama, terlalu percaya diri pun akhirnya tidak bagus sebab justru bisa menjadi ngeyel. Misal, kawan-kawan yang masih ingin menyelenggarkan sholat Jumat, sholat berjamaah, tahlilan, atau bahkan resepsi pernikahan di tengah wabah seperti ini.

Saya kira, ada hikmah untuk lebih dekat kepada Allah. Saya kira, ini pandangan yang sangat jernih. Memang, selalu ada hikmah dari berbagai ketetapan Allah. Yang dulunya kita terlalu sibuk di luar, sekarang ada ke sempatan untuk berkumpul dengan keluarga. Kemudian, kita juga bisa beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Yang paling penting menurut saya, sebetulnya dalam setiap ibadah yang Allah perintahkan kepada kita itu ada ajaran untuk berdiam. Misalnya, tumakninah dalam sholat. Di ibadah haji, ada wukufnya. Bahkan, puasa itu juga berarti menahan diri.

By : Nasrul Ilmi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *